Senin, 11 April 2011

 judul tulisan ini hidup ala ruwet disunting dari pituturnya mbah dipo





Sebagai ‘wong jowo’, simbah merasakan betul betapa yang namanya adat terkadang mbikin hidup tambah ruwet. Mungkin tadinya bermaksud baik, namun seiring bergesernya waktu, adat yang tadinya terlihat adiluhung, malah terasa menyesakkan hidup. Apalagi kalo diembel-embeli keyakinan.
Simbah gak begitu tahu banyak adat-adat apa yang harus dilalui seumur hidup manusia. Namun yang sedikit simbah ketahui saja sudah cukup merepotkan manusia. Di sini simbah kutipkan sedikit.

FASE KEHAMILAN

Fase ini harus dilalui dengan banyak berpantang. Wong jowo nyebut “ra ilok”, wong sunda bilang “pamali” atau pantangan yang gak pantes dilakukan. Misalnya :
  • pas hamil kalo ngidam harus dituruti, biar anaknya gak ngileran atau ngecesan
  • kenthut jangan kenceng2, biar anaknya gak dobolen
  • makan jangan glegeken (sendawa), biar anaknya gak buncit perutnya
  • kalo lihat orang cacat harus bilang “amit-amit jabang bayi”, biar anaknya tidak lahir cacat
  • gak boleh makan ikan mujahir, biar anaknya nggak ndoweh wal ndawir ataupun mencos
  • gak boleh nyembelih binatang, takut anaknya lahir kehilangan organ tubuh….. dlsb

Ada juga upacara mitoni. Jangan sangka ini upacara nyembelih ular piton… bukan. Ini upacara menyambut usia kehamilan bulan ke tujuh.

FASE KELAHIRAN SAMPAI PERNIKAHAN

 

Begitu lahir ceprot, ada upacara nanam ari-ari. Bayi laki ari2nya ditanam di samping kanan rumah, bayi perempuan di samping kiri rumah. Sambil dipasangi lampu teplok.
Lima hari kemudian “sepasaran bayi”. Lalu tiap selapan (35 hari) dibancaki. Bancakan weton namanya. Dulu menunya nasi urap (gudhangan) plus telor dibagi enambelas. Jan nyamleng tenan. Ini masih ditambahi tiap tahun diulang-tahuni. Ritual yang melelahkan.
Kadang yang gak punya duit direwangi ngutang ngalor ngidul. Mbayarnya ngetan ngulon… Sampe ada yang kado ulang tahunnya sebuah Tower…. weh, sugeh mblegedhu. Jebul bapaknya korupsi. Nah saat bisa jalan pun ada upacara “Tedhak Sinten”, yakni syukuran si anak bisa napak jalan. Mungkin orangtuanya khawatir, anaknya jalan gak ngambah lemah, kayak kuntilanak saja.
Nah begitu puber, mulailah ritual dewasa. Yang pertama latihan bermuka dua dengan pacaran. Muka dua? Lha iya… jika didepan pacar, semua diperlihatkan yang manis-manis dan bagus2. Meludah yang sopan, wahing diempet, angop ditutupi, kenthut dikempit… wah teori John Robert Power dijalani semuah. Begitu di rumah ida-idu hoak-hoek, wahing gebras-gebres, angop ngowoh, ngenthut brat-brot sak ampase. Konangan setelah jadi suami isteri.
Trus mulailah ritual lamaran, tukar cincin dengan sederet upacaranya. Nah memasuki pernikahan, adat yang harus dilaksanakan sak tumpuk. Apalagi orangjawa paling seneng dengan yang namanya “pepindhan’ alias perlambang.
Maka dipasangilah saat upacara pernikahan pohon tebu. Maksudnya biar manteb di kalbu. Ada juga Cengkir, agar kenceng anggone mikir. Trus ada upacara sawat-sawatan (saling melempar) daun sirih sambil ketawa-ketawi. Padahal boleh jadi setahun kemudian itu daun sirih diganti batako, sambil saling pisuh-pisuhan suami isteri. Lalu tidak lupa ritual nginjek telur.
Di belakang upacara itu, sang pawang hujan sibuk komat-kamit nolak hujan biar tamunya banyak yang datang. Salah satu cara nolak hujan yang konon katanya manjur adalah dengan melempar celana dalam sang penganten perempuan ke atas genting rumah. Weleh… Belum lagi di dapur mbah dukun sibuk nyajeni pawon (tungku api), kalo sekarang kompor. Katanya biar panas apinya. Kalo kurang sajen dan apinya gak panas, masakannya lama matengnya. Keburu tamunya gumruduk pada ngumpul kleleran belum disuguh. Hayyah… api kok kurang panas… mbok dinyunyukne bathuke mbah dukune ben kroso.
Semua dijalani dengan penuh keruwetan. Lebih terasa ruwet saat dijalani oleh orang dengan aktifitas penuh kesibukan seperti sekarang.
Simbah bukan orang yang anti dengan adat istiadat. Namun adat yang berbau klenik dan tidak mendidik hendaknya dieliminir saja. Adat yang bagus dan mengandung norma yang membangun harus dilestarikan. Apalagi adat yang membuat hidup mudah… itulah yang dimangsud …”yuriidullohu bikumul yusro, walaa yuriidu bikumul ‘usro..” (Allah menghendaki kemudahan buat kalian, dan tidak menghendaki kesukaran atas kalian).
Besok kita bahas matinya….ala ruwet…


Malulah sebelum malu maluin

Kemarin simbah menyempatkan diri blayangan ke Pasar Pagi buat survey barang-barang mainan. Sibuk dan ruwet bukan main. Hingga akhirnya simbah sampai di satu sudut jembatan yang baunya minta ampun pesingnya. Rupa-rupanya khalayak ramai sepakat untuk ngrabuk sudut jembatan itu dengan uyuh bin kencing. Dan itu nampak dari beberapa orang yang dengan sengaja wira-wiri masuk kesitu untuk memenuhi panggilan alamnya.
Yang gak enak dipandang adalah prosesi dari ngrabuknya itu. Lha si oknum dengan santainya ngocor sambil singsut-singsut, trus dengan cueknya mengandangkan si waterbird ke paseban. Hampir tanpa tutup, di tengah lalu lalangnya orang. Jangan tanya cebok apa nggaknya. Atau istinjak pakai apa, karena baik air maupun batu tak ada. Kalopun dimungkinkan istinjak, paling dioset-oset ke tembok jembatan… jian malah mikir yang saru tho sampeyan..
Kejadian yang sama pernah simbah lihat di Terminal Pulogadung. Cobalah di siang hari yang terik, berjalan di dalam terminal bisnya. Maka aroma amonia yang nyungsep menggelitiki hidung akan segera menyambut sampeyan. Trus tak lupa pemandangan di kiri kanan, para sopir dengan santainya nguyuhi ban kendaraannya, sambil sesekali ngudud pating sledubh…. terlihat puas.
Padahal nguyuh wal kencing itukan urusan yang sensitip dan membutuhkan privasi. Terbukti orang lebih nyaman melakukannya di ruangan tertutup. Kalopun di ruang terbuka, ternyata ya masih clingak-clinguk macem munyuk ditulup. Berarti masih tersisa endapan rasa malu. Belum semua terkikis. Nggak kayak Sarindi si oknum yang setengah edan, seprapat menying, dan seprapat ra ganep itu, nguyuh ya tinggal mlotrokne kathok. Masalah orang lihat rudalnya apa tidak gak masalah.
Malu itu bagian dari iman. Tapi malu yang pada tempatnya. Dahulu wanita kelihatan dengkulnya saja merasa malu. Bahkan wanita barat pun begitu. Namun seiring dengan waktu, jangankan dengkul, sampai keliatan selangkangannya pun malah ditunjukkan dengan senyum lebar. Mereka bilang itu kan cuma daging dan kulit biasa. Batas aurat yang harus dirasakan malu oleh pemilik aurat pun gak jelas, dan malah dibikin kabur.
Aurat jadi gak jelas definisinya. Ini disengaja, biar bingung mendefinisikan aurat, pornografi dan lain sebagainya. Sebagian orang menganggap yang namanya aurat wanita itu cuma “puting susu” sama “klitoris”. Jadi selama dua barang itu tertutup, masih bisa dianggap menutup aurat. dan itulah yang sedang dikampanyekan oleh sebagian besar jurkam Iblis. Yang lebih ekstrim, ada juga yang gak mengenal aurat. Tubuh manusia itu gak ada auratnya. Pakaian itukan cuma memperindah saja fungsinya. Kalo dengan tanpa pakaian lebih indah, ngapain berpakaian.
Inilah yang akhirnya membuat rasa malu manusia terkikis. Gadis pemalu yang tadinya gak enak kalo pahanya terlihat, berlomba-lomba menggelar tontonan gratis di mana-mana tempat. Kalo ditegur malah nyobrot, “Situ saja yang ngeres otaknya. Lha kalo sudah dasar pikirannya ngeres, lihat pepaya saja asosiasinya sudah macem-macem.”
Yang nyobrot ini gak sadar bahwa type manusia yang dia cap ngeres otaknya itu bukan satu dua orang. Dia hanya berpikir bahwa yang ngeres otaknya itu adalah para kyai bersorban, berjenggot, celananya cingkrang, jidatnya gosong yang mengingatkan dia untuk berpakaian menutup aurat, mereka ini sok bermoral, jumlahnya minoritas, hanya 5% paling banter. Sedangkan selain yang simbah sebut tadi adalah manusia yang layak dipercaya, yakni dari kalangan preman pasar, karyawan kantor berwajah culun, laki-laki monogami yang santun, pria-pria eksekutif dari alam party dugem yang sopan berhati bersih, bromocorah bertato yang pasti tahu adab, yang kalo lihat paha mulus dan payudara montog sama rasanya dengan melihat batu kali. Dan golongan yang ini lebih banyak, 95% lah, miturut statistik mereka. Jadi gak usah kawatir kalo mau ngligo ngumbar kothang.
Gak tahulah simbah, darimana statistik itu. Tapi ada salah seorang kawan lama simbah dari dunia dugem yang termasuk dalam 95% manusia santun dan beradab itu, suatu ketika duduk mendengarkan satu ceramah. Duduk di depannya seorang perempuan memakai rok ultra mini. Mungkin gak kuat sumuk, maka dibiarkan ngisis semriwing agak semrowong. Sang kawan lama bertanya pada teman sebelahnya dengan berbisik… :
“Nggowo sego opo ora Dul?” tanyanya, pada si Dul kawan dekatnya. Aneh-aneh wae, kok nanya bawa nasi apa tidak nggo opo tho?
“Ora kang. Takok sego nggo opo?” Tanya si Dul.
“Galo kae ono sampil nganggur iso nggo lawuh….”
Keduanya ngakak, saat si kawan lama nunjuk paha mloho yang digelar bak sampil wedhus kambing guling. Mungkin semua orang dianggep kayak si kawan lama ini. Lihat auroth malah ngelih…. dasar kanibal ndeso.
Maka malu itu pokok. Malu yang pada tempatnya. Tempat malu adalah di dalam koridor syareat agama. Ini berlaku dimana-mana tempat. Di jalan, di gedung DPR, di kantor, di terminal dlsb. Kalo malu sudah tercabut, maka bencana besar. Korupsi, kolusi, nepotisme, dan budaya permisif adalah sebagian kecil akibat hilangnya rasa malu. Maka janganlah menjadi orang yang sebagaimana disebutkan cirinya oleh Ki Tamtomo Madipo-dipo di bawah ini :
Isih cilik isinan
Mundhak gede ngisin-isini
Mbareng tuwo ra nduwe isin

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | JCpenney Printable Coupons